Selamat datang di webblog Alumni Prodip III Keuangan Spesialisasi Pegadaian Angkatan 1995, kritik, saran dan artikel kirimkan ke waroeng95@gmail.com
Ingat !!!!!
Lima Tahun Ke Depan
Kita Akan Sama,
Kecuali
Dengan Siapa kita Bergaul, dan Bacaan apa yang kita Baca.

Selasa, 14 Juli 2009

JANGAN ANGGAP ENTENG PROFESI JURU TAKSIR

 

Jangan Anggap Enteng si Juru Taksir

Edisi 59 Februari 2009

Sebagai garda depan perusahaan, profesi ini dinilai sangat penting. Di tangan para juru taksir terletak hidup-matinya perusahaan. Bagaimana pengembangan SDM juru taksir?

 

Waktu beranjak siang. Jarum jam menunjukkan angka 12.15 WIB. Di sebuah ruangan berukuran sekitar 5 x 6 meter persegi terlihat beberapa orang sedang mengantre. Dua orang tampak berdiri sambil mengisi formulir di meja panjang setinggi dada, tepat di depan dua pelayan di ruangan itu. Sisanya menunggu antrean. Ada yang berdiri atau duduk santai di kursi-kursi yang telah disediakan. Ruangan sejuk bernuansa hijau itu tepat berada di pojok pintu masuk lantai dasar gedung Pegadaian Pusat, Jakarta.


Di kantor Pegadaian Syariah Cabang Kramat Raya, Jakarta Pusat, aktivitas serupa juga terjadi. “Ramainya saat jam istirahat kantor sekitar jam 1-2 siang. Kebanyakan yang datang adalah orang-orang kantoran di sekitar sini,” ungkap Afifah, juru taksir madya sambil melayani “Rahin” (sebutan untuk nasabah di Pegadaian Syariah). Sebagai juru taksir, Afifah termasuk personel penting di Pegadaian yang punya tugas untuk menilai barang yang hendak digadaikan nasabahnya.


Wanita berkerudung kelahiran Bekasi, 12 Agustus 1988 ini menuturkan, juru taksir atau penaksir hanya bisa memberikan pinjaman uang sebesar 90% nilai barang yang digadaikan. Untuk itu, katanya, yang terpenting dalam profesi juru taksir adalah harus memiliki ketelitian dan pengalaman agar tidak meleset saat menilai barang. Walhasil, setiap hari dia selalu berkutat dengan batu uji, air uji, kalkulator, dan timbangan untuk menghitung kadar dan berat emas atau berlian.


“Pegadaian Syariah hanya bisa menerima perhiasan emas dan berlian saja, beda dengan Pegadaian Konvensional yang juga bisa menerima mobil, sepeda motor, TV, hand phone, dan barang elektronik lain,” ujarnya menjelaskan. Menurut wanita yang memiliki jam kerja dari pukul 08.00-16.00 WIB ini, barang yang paling susah ditaksir adalah berlian. Alasannya, menurut Afifah, berlian belum memiliki standar harga sebagaimana emas. “Selain itu berlian ada spesifikasinya, mulai dari ukuran atau warnanya,” ia memaparkan.


Seorang rahin (nasabah) tampak ingin menggadaikan perhiasannya berupa sepasang anting, satu liontin, dan dua cincin emas yang sudah disimpannya selama 30 tahun. “Saya sedang butuh uang untuk membantu orang tua teman saya yang sedang sakit kritis,” kata Marta, warga Cempaka Putih yang saat itu mengharapkan kelima perhiasan emasnya ditaksir seharga Rp 2 juta. Namun, Marta mulai gelisah, ketika proses taksiran yang diperkirakan hanya 15 menit ternyata memakan waktu hingga satu jam.


“Buruan dong Mbak, saya harus masuk kantor lagi nih,” pinta Marta sambil memalingkan pandangan ke arah jam tangannya. Keempat perhiasan milik Marta, yakni sepasang anting dan dua cincin memang sudah selesai dihitung Afifah. Namun, pada liontin milik Marta terdapat mata berlian sehingga Afifah harus bekerja keras untuk menghitung kadar dan berat berlian pada liontin tersebut. Bahkan, dalam proses ujinya, Afifah dibantu sang manajer. “Menurut tes uji kami, liontin ini tidak berlapis emas,” kata Nike, Manajer Pegadaian Syariah Cabang Kramat Raya.


Singkat cerita, perhiasan milik Marta hanya ditaksir Rp 1,5 juta. Marta menerimanya meskipun tidak sesuai dengan yang diharapkan. Diakui Nike, terkadang nasabah yang membawa berlian suka marah-marah lantaran harga taksirannya di bawah harga saat dia membeli berlian itu.


Juru taksir adalah profesi yang diandalkan di Pegadaian. Sayangnya, tak banyak orang yang menganggap profesi ini penting. Padahal, risiko kesalahan dalam menaksir sangat besar. Bayangkan bila seorang juru taksir salah menilai barang yang akan digadaikan nasabah. “Karena itu kami berupaya hati-hati dalam menaksir suatu barang dan harus bisa mendeteksi barang palsu,” tandas Nike.


Di Pegadaian, profesi juru taksir terdiri dari tiga tingkatan, yaitu penaksir muda, penaksir madya, dan pemutus kredit. Beda dengan penaksir muda, penaksir madya sudah bisa mendeteksi barang palsu. Afifah, misalnya. Sebagai penaksir madya yang baru bekerja di Pegadaian sejak empat bulan lalu dan menjadi juru taksir selama satu bulan ini, ia dapat membedakan mana barang asli dan palsu. Untuk menjadi juru taksir, sebelumnya Afifah memperoleh pendidikan dan latihan selama satu tahun mengenai ilmu penaksiran. Ilmu penaksiran itu diperolehnya dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang dibiayai oleh Pegadaian atau disebut jalur Diploma.


Berkaitan dengan itu, Direktur Umum dan SDM Kantor Pusat Perum Pegadaian Sumanto Hadi menjelaskan, proses rekrutmen juru taksir (Penaksir/Analisis Kredit) sebelum 2008 dilakukan melalui dua jalur, yaitu Regular dan Diploma. Manto, begitu sapaan akrabnya memaparkan, yang dimaksud jalur Reguler adalah, proses rekrutmennya dilakukan dari lulusan D1/D2/S1, yang kemudian diberikan pendidikan dan pelatihan melalui Balai Diklat yang dimiliki perusahaan. Sementara jalur Diploma, merekrut para lulusan SLTA dan mendidiknya selama satu tahun bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri.


“Setelah selesai pendidikan di kampus, mereka langsung diberikan on the job training di kantor cabang untuk mempraktikkan secara langsung ilmu yang telah dipelajari di bangku kuliah,” tuturnya seraya mengatakan, “on the job training dilakukan selama satu bulan”.


Pegadaian juga sempat bekerja sama dengan STAN sebelum tahun 2008. Kini kerja sama dilebarkan ke beberapa perguruan tinggi negeri, antara lain Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Hasanuddin (Unhas), dan Universitas Sam Ratulangi (Unsrat).


Pria kelahiran Kendal, 12 Januari 1957 ini mengatakan, setelah 2008 proses rekrutmen diterapkan hanya melalui jalur Reguler saja. Artinya, setiap karyawan Pegadaian harus mengawali kariernya sebagai juru taksir terlebih dahulu. “Jadi, kebijakan kami saat ini mewajibkan semua orang yang bekerja di Pegadaian untuk melalui juru taksir,” tuturnya seraya memberi alasan bahwa juru taksir merupakan profesi di garda depan.


“Kalau mereka sudah terbiasa bekerja sebagai juru taksir dan sudah paham mengenai proses bisnis di Pegadaian, maka kemana saja pasti bisa tergantung pada minat maupun bakat yang bersangkutan. Jenjang kariernya harus melalui juru taksir dulu,” ujarnya menerangkan. Pada umumnya mereka menjadi juru taksir selama 2-3 tahun, kemudian mengikuti program pengembangan lanjutan sesuai minat dan bakatnya untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi. Misalnya, menjadi Manajer Kantor Cabang.


Mengenai program pengembangan, Manto menguraikan, di awal bergabung dengan perusahaan, setiap juru taksir diberi pendidikan induksi, yaitu pengenalan perusahaan, selama satu minggu. Dalam program induksi juga diberikan program outbound dengan tujuan untuk membangun tim kerja. Berikutnya adalah pendidikan dan latihan (Diklat) untuk Penaksir Muda selama satu bulan.


Setelah menjadi juru taksir selama dua tahun, selanjutnya diberikan Diklat Penaksir Madya selama satu bulan dan bagi beberapa juru taksir yang pandai dan inovatif dilanjutkan dengan pendidikan ahli taksir. Pendidikan ini dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. “Selama perjalanannya sebagai juru taksir, mereka diberikan tambahan pengetahuan melalui kursus pendek sedikitnya 2-3 hari setiap tahun,” kata lulusan sarjana ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Magelang, 1986, ini.


Pengembangan ini diberikan ke semua karyawan Pegadaian setelah mereka menjadi juru taksir. Para ahli taksir biasanya dikirim untuk belajar ke luar negeri, seperti ke Belanda, Belgia dan Thailand. “Mereka umumnya belajar menaksir batu mulia, seperti safir dan rubi. Khusus batu mulia di luar negeri ada standar harga dan sertifikasinya. Masing-masing ukuran pun ada harganya. Tetapi di Indonesia tidak ada karena orang yang punya batu mulia rata-rata hanya hobi,” ungkapnya.


Pemberian pendidikan ditujukan untuk meng-update pengetahuan penaksir mengenai berbagi jenis barang yang biasa digadai para nasabah. Misalnya, tipe barang elektronik terbaru dan model perhiasan terbaru. “Sekarang banyak penipuan. Katanya perhiasan emas, ternyata palsu. Nah, kalau sampai tidak bisa dideteksi oleh para juru taksir, perusahaan akan rugi. Makanya pendidikan itu diberikan dalam kursus pendek,” tuturnya mencontohkan.


Selain itu, juru taksir juga mempelajari barang-barang lokal (daerah) yang bisa menjadi jaminan. Misalnya, gading. Untuk daerah Kupang, Nusa Tenggara Barat (NTB), gading ternyata sangat berharga karena biasa dijadikan mahar buat pernikahan. “Pengetahuan itu khusus diajarkan di kantor wilayah yang bersangkutan,” ujar Manto. Contoh lain, di dareah Sulawesi Selatan ada yang namanya kopiah yang dibuat dari benang-benang emas, dan itu bisa menjadi barang jaminan di sana.


Menurut Manto, ada tiga tugas pokok yang diemban para juru taksir. Pertama, melaksanakan penaksiran terhadap barang jaminan untuk mengetahui mutu dan nilai barang sehingga dapat ditentukan uang pinjamannya. Kedua, melaksanakan penaksiran terhadap barang jaminan yang akan dilelang untuk mengetahui mutu dan nilai barang sehingga dapat menentukan harga dasar lelang. Dan ketiga, menyiapkan barang jaminan yang akan disimpan agar terjamin keamanannya.


Diungkapkan lulusan Magister Manajemen Pemasaran dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1995, selama ini dalam pemberian program pengembangan kepada para juru taksir nyaris tidak ada kendala. Namun, diakuinya, persoalan rekrutmen di daerah tertentu, sebut saja Papua, masih tehambat dengan kurangnya minat putera daerah untuk menjadi juru taksir. Mau tak mau, untuk memenuhi tenaga juru taksir di daerah tersebut terpaksa didatangkan dari Manado atau Makassar.


Untuk menilai kinerja juru taksir, anggota Ikatan Sarjana Ekonomi ini mengungkapkan, ada yang namanya penilaian perilaku yang meliputi: kerja sama, disiplin, dan tanggung jawab. Manto membenarkan bahwa saat ini di beberapa kantor wilayah SDM-nya sampai menumpuk, sementara di wilayah lain kekurangan SDM. Untuk mengatasi masalah tersebut, Manto mengungkapkan, Pegadaian menerapkan sistem rotasi dan mutasi. Ia berharap sistem ini dapat menghilangkan kejenuhan sekaligus menambah wawasan baru para juru taksir di Pegadaian.


URL : http://www.portalhr.com/majalah/edisisebelumnya/pengembangan/1id1228.html